20/08/15

Mengenang Kembali Pasar Tradisional Sumedang Tempo Dulu

Peduli Tata Ruang Sumedang, Di bagian Depan pasar Sumedang baheula (1950–1960an) dan pintu masuk hanya satu yaitu di depan pasar sekarang. Sebelah Utara adalah Terminal Regional dan lapangan Sepakbola Ahmad Yani Ketib Sumedang dan sebelah selatan adalah Toko-toko Kelontongan (Taman Telor Sekarang)

Semula memang kisah dan suasana lama, sebaiknya kita tinggalkan serta lupakan, tapi apa boleh kita ungkapkan untuk sekedar kita tidak terlena dengan keadaan sekarang dan menghindari hal yang bersifat “kacang lupa kulitnya”. Pasar Sumedang yang dulu ramai tanpa kawasan pesaingnya seperti mini market dan mall, ia tumbuh dan para pelakunya sejahtera meski kondisi dan suasana pasar itu jorok.

Peradaban dan pemikiran baru suasana untuk berbelanja yang dibutuhkan bersih, nyaman dan sehat. Datanglah dari si pemodal (investor) yang dominan yang mengerti betapa pentingnya pelayanan kenyaman dan kebersihan dari suatu pusat perbelanjaan. Dan disitulah tumbuhnya manajemen baru dengan sebutan “pusat perbelanjaan”, swalayan, dan wisata belanja dengan keindahan aneka etalase dan barang belanjaan.

Para pemangku kebijakan juga lebih mendekat dan merapat ke pihak pemodal dominan ini dan mengaturlah ruang serta lokasinya, meski harus diadukan/di konflikan sebagai kawasan pesaing dan jadi kompititer dengan lokasi pasar yang masih merakyat itu.

Demikianlah balada Pasar tradisional tempo dahulu dan sekarang. Walaupun masih nampak kumuh dan becek kalau musim hujan, karena revitalisasi masih berjalan.

Kurangnya perhatian pemerintah sekarang terhadap petani dan peternak mengakibatkan sapi mahal, ayam mahal dan hasil sayuran mahal.(salam Plano)
Read More »

19/08/15

Jalan Ke Arah Terminal Ciakar, Siap Untuk “SUMEDANG TANDANG”

Peduli Tata Ruang Sumedang - Jalur jalan arah Jalan ke arah Terminal Ciakar, Tahun 1950–1980 an kondisi ruas jalan ke Jalan Ke Arah Terminal Ciakar ini masih berupa jalan yang melintasi hamparan sawah dan perladangan. Kemudian dalam waktu tidak lebih dari 10 tahunan (sampai tahun 1990an), di koridor ruas jalan ini sudah mulai tumbuh aneka hunian permukiman.


Bahkan di tahun 2008–2015, koridor ruas jalan ini sudah mulai memadat dan memiliki fungsi kawasan peruntukan lahan kegiatan perkotaan (kegiatan jasa, pertokoan, dan pemerintahan) skala pelayanan wilayah Kota Sumedang dan sekitarnya.

Pada dekade tahun 1950-1960an, ruas jalan ke Jalan Ke arah Terminal Ciakar ini, sepi dan belum sampai mendapati pelayanan penerangan listrik. Namun pada saat tahun antara 1900-an sampai 2015, ruas jalan ini tumbuh dan berkembang sehingga membentuk ruang koridor kawasan permukiman, perkantoran, perdagangan  perkotaan, dan sampai saat sekarang pun ruang koridor ruas jalan ini terus tumbuh dan berkembang pesat  yang memberikan dampak kepada percepatan peralihan fungsi lahan di sekitar koridor jalan Jalan ke arah Terminal Ciakar ini. 

Adanya pembangunan bunderan di dekat Polres Sumedang memberikan dampak Tandangya Kota Sumedang baik ke arah jalan pusat kota, ke arah jalan kampung Toga dan ke arah jalan Terminal Ciakar itu sendiri. Begitu juga adanya pembangunan jalan Cisumdawu pintu keluar masuk Jalan Tol ini berada di Jalan ke arah Terminal Ciakar (desa mekarjaya) akan memberikan daya tarik bagi fasilitas perdagangan skala regional dan lokal.
 
Di jalan kearah terminal ke ciakar sering terjadi kecelakaan lalu lintas terutama dekat pom bensin desa karapyak oleh karenanya perlunya rambu-rambu lalu lintas dan pembatas kecepatan laju kendaraan. Dan di daerah tersebut terdapat beberapa komplek perumahan yaitu perumahan mekarsari, perumahan karyawan RSU dan perumahan lainnya.

Dan memang jalan ke Jalan Ke Arah Terminal Ciakar ini bak siap Tandang melalui pengisian ruang untuk perkotaan dan percepatan peralihan fungsi lahan vs kegiatan awal sebagai daerah pertanian.(Salam Plano)

Read More »

Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Tata Ruang

Peduli Tata Ruang Sumedang, Pasal 33 UUD 1945 dan UU no 26 tahun 2007 sebagai dasar hukum penataan ruang telah menggariskan bahwa prinsip penataan Ruang Wilayah Indonesia adalah keadilan dan kemakmuran bangsa. Ini menegaskan bahwa segala bentuk penataan ruang yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia adalah semata-mata demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran segenap tumpah darah Indonesia. Ini juga merupakan amanat dari dasar hukum Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa Salah satu tujuan dari negara Indonesia Merdeka adalah Memakmurkan segenap tumpah darah Indonesia.

Mengacu pada dua landasan penataan ruang di atas tentunya jelas sudah bahwa tidak ada sejengkal tanahpun di wilayah negara Indonesia, yang penataan ruang nya tidak diperuntukan untuk keadilan dan kemakmuran Indonesia. Artinya tidak ada ruang di negeri yang berlandaskan Pancasila ini bagi penataan ruang yang justru menjerumuskan segenap tumbah darah Indonesia pada bencana kemanusiaan atau kesenhgsaraan.

Penataan Ruang yang berkeadilan sosial dan menciptakan kemakmuran tentunya membutuhkan perlindungan dari sebuah penegakan hukum. Hukum penataan ruang haruslah benar-benar berjalan secara konsisten dalam melindungi segenap kepentingan seluruh bangsa ini akan kesejahteraannya. Hukum penataan ruang juga harus dijalankan tanpa pandang bulu demi menjamin terciptaanya penataan ruang yang berkeadilan sosial. Dia haruslah tajam pada siapapun atau bentuk apapun dari prilaku penataan ruang yang tidak mentaati prinsip keadilan sosial.

Apa yang terjadi selama ini di berbagai wilayah Nusantara, di mana banyak terjadi prilaku penataan ruang yang hanya mementingkan aspek pertumbuhan Ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi yang dituju pun ternyata tidak menghasilkan pemerataan bagi segenap tumpah darah Indonesia. Alhasil penataan ruang yang demikian hanya mampu mengakomodir keadilan bagi segelintir masyarakat dan menghadirkan bencana bagi masyarakat mayoritas. Hutan yang seharusnya menjadi daerah resapan air, dan paru-paru bagi kehidupan masyarakat, harus menjadi korban prilaku brutal penambangan ataupun eksploitasi bisnis property mewah. Lahan persawahan yang menjadi landasan awal tegaknya kedaulatan pangan pun telah dikonversi secara brutal menjadi kawasan Industri. Wilayah pantai sebagai kawasan lindung bagi tumbuh kembangnya ekosistem pesisirpun terancam oleh bebarapa agenda pembangunan berkedok reklamasi, dalam arti sesungguhnya adalah memonopoli eksploitasi fungsi pantai oleh para mafia property dengan tujuan kapitalisasi modal.

Pola penataan ruang yang “sembrono” seperti di atas haruslah menjadi cerita lama bagi bangsa yang telah menginjak usia 70 tahun ini. Perlu disegerakannya penegakan hukum yang benar-benar konsisten dalam menertibkan pelanggaran-pelanggaran pembangunan yang menyalahi aturan tata ruang atau yang kami sebut KEJAHATAN PENATAAN RUANG. Pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai perangkat hukum harus lebih mengoptimalkan keterlibatannya dalam mempercepat terciptanya penataan ruang yang berkeadilan sosial. Penegakan hukum tata ruang yang berorientasi keadilan sosial harus harus segera diprioritaskan.

Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2006 tentang penataan ruang wilayah kesatuan Indonesia, pada pasal 69 sampai dengan pasal 74, menegaskan bahwa setiap Individu, Pejabat Penyelengaara Negara, dan atau Koorporasi yang melakukan kejahataan pada penataan ruang dapat dipidanakan. Untuk itulah hanya dibutuhkan satu ketegasan para aparat hukum, dalam hal ini pihak Kepolisian dan Kejaksaan untuk segra menangkap dan memproses para pelaku kejahatan yang membahayakan masa depan negara ini. Tegas, Konsisten dan Tidak Pandang Bulu adalah sikap yang wajib dijaga oleh para aparatur penegakan hukum Republik Indonesia tersebut.

Untuk itulah demi sebuah penataan ruang yang berorientasi pada Kedaulatan Negara, Kemakmuran Rakyat dan Terjaganya Keutuhan Peradaban Bangsa Indonesia, Kami (Masyarakat Peduli Tata Ruang)  dengan Ini : Diperlukannya ketegasan dalam penegakan hukum untuk menangani segala bentuk kejahatan tata ruang. Oleh karena itu perlunya “Penegakan Hukum Pada Kejahatan Tata Ruang”.
Read More »

Komentar Terhadap Konsep Bangunan Terapung Penyelamatan Makam Sumedang Larang

Peduli Tata Ruang Sumedang, Beberapa komentar yang masuk terhadap Konsep Bangunan Terapung (building Floating) Penyelamatan Makam Sumedang Larang (baca sebelumnya) dari urang asli Sumedang di FB dari kalangan,  Konsultan, permerhati lingkungan, anggota Dewan dapil 4 dan Generasi KNPI yaitu :

Penulis : Nembe alot pisan kang Avip...Kang Surahman mempresentasikeun masalah penyelamatan Situs Jati Gede teh desain teknisna mah wokeh pisan,desain makam terapung, secara position makam terapung tetap pada lokasi awal tanpa bergeser sedikitpun, dikarenakan dengan menggunakan bentangan elastis dan bahan material bangunan digunakan memanfaatkan dari kayu-kayu yang ada di sekitar lokasi Jatigede yang ditebang. Dengan demikian Situs tetap pada tempat lokasi awal.

Namun Bu Ully Sigar dari pemerhati lingkungan tetap pada pendiriannya Situs tersebut harus tetap berada dan seperti aslinya...ini bagian dari perwujudan NKRI katanya.

Avip Setiawan (konsultan) : Saya sudah mendengar itu teknologi seperti di Jepang? apa mungkin?

Penulis : Mungkin kang Avip...desainna..kalau secara...gampangna ibarat perahu...diapung dengan memakai beban di bawah dan jangkar serta ditarik bentangan diagonal agar tidak bergeser dari situs aslina

Surahman (Narasumber)  PT. askita Energi Director menjelaskan sebagai berikut :  Ini adalah upaya penyelematan Makam yg akan terendam air, namun dari pihak "pencinta lingkungan" lebih memilih tidak diganggu gugat alias "tenggelam" ditelan air waduk...! (Mari kita lihat klu benar-benar terjadi direndam...Bagaimana Upaya mereka utk Penyelematan Situs tsb...!)


Secara lengkap rencana teknis sareng RABnya diterangkeun kepada yang hadir oleh kang Surahman tentang "penyelamatan Situs Sumedang' yaitu Sekda Zaenal Alimin dari Birokrasi,  wakil Kebudayaan Sumedang Ali Badjri. Kalau dari pemerhati lingkungan Bu Ully Sigar dan Paramihta Rusadhi. Dari Dinas Propinsi Jawa Barat Dinas Kebudayaan juga ada mengemukakan dasar hukum tentang situs arkeologi.

Avip Setiawan: Menurut saya nggak wajar...bikin pulau terapung seperti dijadikan mainan karuhun kita. Apa susahnya lebih baik dialihkeun makamna yang tarapti...perenahkeun da karuhun urang.... anu geus kuduna dimumule. Katanya daerah Kecamatan Ganeas kaluhur tos janten Kampung Buhun....sakalian wae dugi ka Gn. Lingga (komplek makam Prabu Tajimalela) jantenkeun kawasan wisata....Wisata Ziarah Kerajaan Sumedang Larang.

Avip Setiawan: kenapa tidak yang wajar-wajar saja, yang biasanya kalo memindahkan makam umumna. pindahkan semuanya dan dikumpulkam di Gn. Lingga dekat makamnya Prabu Tajimalela.

Avip Setiawan: Meh aya jugjugeun kanggo urang ziarah kubur ngado'akeun karuhun urang sadaya.

Penulis : Menurut Ully Sigar Situs teh kedah angger didinya kumargi situs teu tiasa dialihkeun...bukan berarti melawan pemerintah katanya. Dan Dinas Kebudayaan Propinsi ada UU yang mengatur tentang pemindahan lokasi situs..dengan syarat-syarat tertentu.

Penulis : Sae pisan pami lokasi dialihkeun di jantenkeun "Kawasan Lokasi Wisata Situs Terpadu Sumedang Larang" selain aya kampung buhun back to nature (dihijikeun/terpadu) sapertos kampung Naga di Tasik atanapi Kampung Dukuh di Cikelet pameungpeuk Garut...Dan rencana Dinas Parawisata oge basa ngombrol sama kang Endah Eta Gunung lingga teh bade di damel wisata sumedang larang lengkap aya penginapan.

Avip Setiawan:  Rada benten istilah "situs" makam sareng situs kuno sanesna. Ieu mah mungkin "fardu kifayah" merenahkeun makam...komo ieu leluhur/sepuh urang Sumedang. Raja Sulaeman di Turki wae dialihkeun kusabab kena banjir tina aliran bendungan.

Avip Setiawan: Sambil merenahkeun karuhun (sangkan urang jadi jalma soleh).....sambil ngembangkeun potensi pariwisata Sumedang. Da Sumedang mah ti JAYA BAHEULA kedah JAYA KIWARI. Anu paling mungkin nyaeta ngangkat Bidang Pariwisata Kasumedangan / Sumedang Larang.

Avip Setiawan: Mulai saatna merenahkeun situs karuhun, damel kawasan wisata ziarah Sumedang Larang, salajengna Revitalisasi sadaya obyek sajarah sumedang termasuk Gedong Nagara.

Avip Setiawan: Dari pada ngadamel Pulau Situs Terapung anu pasti badag biayana...mening biayana dianggo jang merenahkeun makam karuhun sareng ngawangun kawasan wisata ziarah sumedang larang.

Mang Asep Kabayan (pemerhati lingkungan Situs Jatigede dan juga penulis https://kabuyutansunda.wordpress.com) : Situs teh tina kecap Site anu hartosna lokasi, Situs Cipeueut sanes ngan saukur kuburan tapi punden berundak lengkep jeung larangan nana, situs teu meunang diubah, larangan teu meunang dirempak. Jadi mending Situs na diantepkeun ditempatna ayeuna aya ulah dipindahkeun jeung ulah dirobah, leuweung larangan omat ulah dibabat, diditu oge aya sumur cikahuripan paninggalan turunan nabi Nuh AS, jadi Leuweung Larangan Cipeueut teh ngawengku 3 jaman, jaman ghaib, jaman pra sejarah, jeung jaman sejarah. Teu kudu ngawangun situs terapung, lamun erek nyieun replika mah sok wae ngan Situs Aslina ulah dirobah tetep ditempatna jieun wae Situs Tiruan nana lamun hayang aya proyek mah hehehe. Cobian wae dikeueum lamun tiasa mah da dalah kumaha wae oge moal dugi cai mah ka Cipeueut mah.

Avip Setiawan : Alhamdulillah aya lebetan ti Kang Kabayan tah.......mung hanjakal boh ieu obrolan tur rapat kamari nembe kiwari dibahasna...da kedahna mah danget kiwari tos tuntas permasalahan situs Sumedang Larang....pas "injure time" bade direndem nembe dibahas.

Laneup Kalanamazya Sundanesia :  Logika berpikir makam terapung menurut sy terlalu dipaksakan... maaf maaf kata terdengar nya seperti lelucon... bicara karuhun... nu kudu di mumule mha titinggal na lain tutunggul na...

Avip Setiawan: Sumuhun Kang....kukituna ulah sagawayah....

Asep Sumaryana (Dewan Dapil IV) : Teng manuk teng anak merak kukuncungan, uyah tara turun ka luhur, Prabu Guru Aji Putih Raja Tembong Agung, saha turunana nu ayeuna miguru ka manteNA ? pantesna na mah urang dinya, Mang Dedi E K atawa Mang Kabayan atawa Om Zaenal Alimin ,,, sok geura tembongkeun kaagungan Sumedang teh.

Penulis : Eh eta aya abah  Asep Sumaryana dewan dapil 4...nu bageanana, .Sareng Om Ermi Triadjie hiks...hiks

A Dadan Setiawan (KNPI): reugreug... bral, naon wae pamikiran jeung gagasan pangwangunan nu kira kira aya waragadna jeung teu matak nyongcay kapentingan rahayat geura wujudkeun.. komo bari jeung bakal aya mangpaat nu manjang pikeun anak turunan... (S-GEMATISU)

Avip Setiawan : Satuju Kang A Dadan Setiawan

Saepul Bahri (Depag) : Punten ah, asa teu payus usum loba pangabutuh kana dadahareun (sapi mahal. Hayam mahal. Hasil tani kurang perhatian pamarenteh) eh karakah adurenyom situs. Satuju kang Laneup Kalanamazya Sundanesia . Mun enya eta sejarah pasti moal leungit da aya tutulisanana bakal kabaca ku sarerea urang sumedang

cag ah Hanca...


Read More »

Waduk Jatigede Namanya Akan Diusulkan ke Presiden Menjadi Waduk Tembong Agung

Rencana Pembagunan Jangka Panjang Waduk Jatigede yang melar kurang lebih 30 tahun dari awal diwacanakan pada Zaman Pemerintahan Presiden Soekarno, kemudian direncanakan dan dibebaskan lahan pada waktu pemerintahan  Presiden Soeharto dan dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono, sampai akhirnya akan digenangi pada pemerintahan satu tahun Presiden Jokowi karena telah usai. Meskipun penggenangan tidak akan sekaligus dan melalui tiga tahap jatigede masih menyimpan segudang problem yaitu pembagian uang karohiman yang belum semuanya selesai dan penyelamatan situs yang akan tenggelam di Jatigede.

Dalam waktu tidak lama lagi, makam keramat pendiri Kerajaan Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu bakal tergenang air Waduk Jetigede.

Suasana haru, sedih, dan mencekam menyelimuti hati seratus peserta ruwatan yang memenuhi areal kabuyutan seluas 10 meter x 10 meter pada sepenggal hutan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk. Semilir angin yang pelan-pelan mengurai rumpun bambu dan pohon besar berusia ratusan tahun membangkitkan suasana magis pada ziarah seuweu siwi putu Eyang Prabu, Rabu (29/7/2015) siang itu.

Asap dupa yang mengepul sendu membuat bulu kuduk merinding saat Ambu Pristi memimpin doa. Di atas kabuyutan, burung elang terbang berkeliling, berteriak gelisah seolah tahu yang akan terjadi. Kekhidmatan prosesi nyaris sempurna saat alunan musik tradisional karinding mengiringi kidung Sunda pada rajah bubuka (pembuka) hingga rajah pamunah.

Ruwatan itu merupakan aksi budaya sejumlah komunitas adat kesundaan dalam rangka menyelamatkan Kabuyutan Jatigede. Aksi itu terus dilakukan menjelang digenanginya Waduk Jatigede. Dalam budaya Sunda, siapa saja yang tak bisa menjaga kabuyutan derajatnya tidak lebih baik daripada kulit musang di tempat sampah (jarian).

Menurut tokoh wanita Sumedang itu, Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Pada masa jayanya sekitar abad ke-7 Masehi, wilayah kekuasaan Sumedang Larang hampir sama dengan Jabar sekarang. Kabuyutan ini juga dianggap keramat karena merupakan titik singgung paling utama kesatuan gunung-gunung di Pulau Jawa.

"Menurut keyakinan masyarakat Tatar Sunda, situs ini tak tergantikan karena merupakan salah satu koridor menuju tatanan kenegaraan yang adil, makmur, dan sejahtera," papar Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) asli Sumedang  Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita dari ITB, M.Kim.

Saat ini keyakinan warga Tatar Sunda terhadap situs yang akan tenggelam itu terus berkembang di media sosial dan makin membangkitkan penolakan terhadap penggenangan. Oleh masyarakat Tatar Sunda hilangnya situs keramat ini merupakan tanda-tanda pemicu kehancuran bangsa.

Oleh karena itu, sejumlah komunitas adat kesundaan, aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat Jabar terus menyuarakan penolakan penggenangan Jatigede, baik dengan penjelasan teknis maupun budaya.

"Sepuluh tahun kami menolak Jatigede, tetapi penjelasan kami tak didengar pemerintah, terakhir, sesepuh Jabar Solihin GP pada 27 Juli menyurati Presiden agar penggenangan Jatigede dibatalkan," ujar Taufan Suranto dari DPKLTS


Tangisan Terakhir
Tangisan wanita tokoh Sumedang itu barangkali adalah jeritan hati terakhir rakyat Jatigede. Sebanyak 11.469 keluarga warga di 28 desa bakal tergenang sehingga harus meninggalkan tanah leluhur yang secara turun-temurun menghidupi mereka. Kawasan itu adalah lahan pertanian yang subur dan penyumbang beras untuk Sumedang dan Kota Bandung.

"Sawah di sini rata-rata menghasilkan 10 kilogram (kg) gabah per bata (sekitar 14 meter persegi) atau 7 ton per hektar," ujar E Supendi, tokoh Desa Cipaku. Setelah berpuluh tahun diombang-ambingkan oleh pembangunan Jatigede, akhirnya mereka pasrah kampung halamannya direndam waduk yang bakal mengairi sekitar 90.000 hektar sawah di pantai utara (pantura) Jabar itu.

Kepasrahan mereka terlihat saat hari-hari ini berkerumun di kantor kecamatan dan desa untuk memverifikasi kepemilikan lahan bagi kepentingan ganti rugi. Warga yang dipindahkan dari areal waduk terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama 11.469 keluarga, yang mendapat penggantian berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Kelompok ini memperoleh biaya sosial Rp 108.191.200 per keluarga.

Kelompok kedua 6.955 keluarga, penanganannya berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005. Mereka mendapat anggaran sosial Rp 29.360.152 per keluarga. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2015 untuk mengatur pembayaran ganti rugi bagi warga yang rumah dan tanahnya terkena pembangunan waduk itu.

"Kami tidak memiliki pilihan lain," tutur Ali Rachmat, warga Kecamatan Jatigede. Awalnya, ia menolak keputusan pemerintah yang menetapkannya mendapat uang kerohiman Rp 29 juta karena tidak mungkin cukup untuk membangun rumah di tempat lain. Akhirnya, ia bersedia menandatangani pemberkasan oleh Satuan Kerja Jatigede untuk mengambil uang pengganti.

Usulan Nama Menjadi Waduk Jati Gede menjadi Waduk Tembong Agung

Usulan Nama menjadi Tembong Agung dibahas dalam "Diskusi upaya penyelamatan Situs Jatigede dengan bangunan terapung" yang diadakan di Gedung Negara Kabupaten Sumedang dengan desain teknis bangunan terapung atas pemakarsa oleh salah satu ahli teknik sipil Hidrarulik ITB Ir. Surachman M.Eng, M.Tech dari wado Sumedang, namun upaya ini tidak membuahkan titik temu karena baru bersifat, agar tidak ada lagi masalah-masalah dikemudian hari memginggat banyak halangan dan rintangan dari sejak awal pembebasan/penggantian lahan, penempatan warga OTD Jatigede, rumah liar, patahan sesar baribis, hingga terakhir masalah lokasi pemindahan situs sumedang larang Tembong Agung.

Karena Lokasi Cikal Bakal Sumedang Larang berada di Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Maka  akan diusulkan ke Presiden JOKOWI dengan Nama Waduk "TEMBONG AGUNG". dan Tembong Agung adalah nama kerajaan awal sebelum kemudian jadi Sumedang Larang, yang memang lokasinya akan ditenggelamkan (salam plano)

Read More »

Diskusi Konsep Bangunan Terapung Bagi Penyelamatan Makam Sumedang Larang


Peduli Tata Ruang Sumedang, Di Gedung Negara diadakan "Diskusi Desain Teknis Alternatif Penyelamatan Situs dengan Model Bangunan Terapung Diatas Bendungan Jatigede" dengan Narasumber dan Ide dari Ir. Surahman, M. Eng, M. Tech Putra Daerah asli Sumedang dari Wado yang peduli pada Sumedang terutama Jatigede  dan  dihadiri oleh Sekda Sumedang Zaenal Alimin, Asda II Sumedang, Kebudayaan Sumedang Ali Badjri, pemerhati lingkungan Ully Sigar dan Paramitha Rusadhi, Sesepuh budaya sumedang larang, Sesepuh Yayasan Pangeran Geusan, Paguyuban Keuyeup Apu dan Lsm GMBI.(18/9/2015).


"Untuk desain situs floating system, costnya relatif murah untuk satu situs, karena menggunakan material yang ada yaitu dari kayu-kayu di daerah Jatigede yang akan tergenang, dibiarkan tergenang kan sayang sekali" Kata Ir. Surahman.

"Ini adalah upaya penyelematan Makam yang akan terendam air, namun dari pihak "pencinta lingkungan" lebih memilih tidak diganggu gugat alias "tenggelam" ditelan air waduk...! (Mari kita lihat klu benar-benar terjadi direndam...Bagaimana Upaya mereka utk Penyelematan Situs tsb...!)" kata pria lulusan ITB asli Sumedang Ir. Surahman, Dipl.HE, M.Tech itu.

Dari Dinas Kebudayaan Propinsi Jawa Barat juga menerangkan bahwa ada UU yang mengacu untuk pemindahan situs tersebut dengan syarat-syarat tertentu

Namun  Ully Sigar dari pemerhati lingkungan, tetap konsisten bahwa situs tersebut harus tetap berada dan seperti aslinya dan situs mutlak tidak dapat dipindahkan, ini bagian dari perwujudan NKRI namun bukan berarti melawan dam project  pemerintah.
Diskusi cukup alot dan lama sekali yang dimulai pukul 19.30 s/d 23.30 Wib antara pemakarsa asli Sumedang ini dengan peserta yang hadir, dan nampaknya diskusi belum menemukan titik temu. Mungkin akan dilanjutkan pada session selanjutnya.(Salam Plano)
Read More »

08/08/15

Tata Ruang Jatinangor Harus Ditata Ulang

Peduli Tata Raung Sumedang, Kalangan akademisi menilai tata ruang atau zonasi di kawasan Jatinangor perlu ditata ulang karena terjadi benturan kepentingan penggunaan ruang untuk pendidikan, industri dan pemukiman. Apabila tata ruang Jatinangor akan ditetapkan sebagai kawasan pendidikan, industri mau tak mau harus dipindahkan.

“Kebutuhan zonasi pendidikan dengan industri, jelas berbeda. Tidak nyaman apabila udara segar yang dibutuhkan untuk mahasiwa belajar di kampus, terpolusi oleh industri. Untuk menciptakan kawasan pendidikan tak sekedar mendirikan kampus saja, melainkan perlu didukung lingkungan sosial dan kondisi alam yang nyaman. Perlunya udara sejuk, daerah resapan air, ruang terbuka hijau serta lingkungan masyarakat yang kondusif, harus dipikirkan untuk menciptakan kawasan pendidikan,” kata Pakar Kebijakan Publik Universitas Padjadjaran (Unpad) Jatinangor, Slamet Usman disela “Seminar Zonasi Pendidikan” yang diselenggarakan Badan Koordinasi (Badko) Himpunan Mahasiswa Islan (HMI) Jabar di Hotel Puri Khatulistiwa, Jatinangor, Rabu (28/1/2015).

Menurut dia, kurang teraturnya tata ruang di Jatinangor saat ini khususnya untuk zonasi pendidikan, tak bisa diubah secara frontal. Pasalnya, sekarang sudah kadung banyak industri, pemukiman padat penduduk serta bangunan tinggi. Namun, guna mencegah terjadinya benturan kepentingan penggunaan ruang yang lebih parah, perlu ada rekontruksi ulang penataan zonasi. Jika tidak, akan memicu konflik sosial di masyarakat, kerusakan lingkungan serta permasalahan transportasi.

“Harusnya dari dulu Jatinangor dijadikan kawasan pendidikan dengan menyiapkan berbagai fasilitas dan aksesibilitas. Namun kenyataannya sekarang, kami belum pernah melihat site plane, mau seperti apa Jatinangor? Bahkan kami pun belum melihat langsung strategi pengembangan Jatinangor ke depan. Selama ini, acuannya hanya melihat ketersediaan lahan yang luas di Jatinangor. Semestinya, ada gambar besar (site plane) tentang penetapan zonasi sehingga tidak terjadi konflik kepentingan penggunaan ruang, seperti untuk industri, pemukiman maupun pendidikan,” ujar Slamet.

Ia mengatakan, kalangan akademisi menginginkan wilayah Jatinangor ditetapkan menjadi kawasan pendidikan tinggi. Untuk mencapainya, semua pemangku kebijakan dan pengelola perguruan tinggi mesti duduk bersama membahas perencanaannya. 

Selain itu, perlu dibuatkan regulasi oleh pemerintah. Cuma sayangnya, hingga kini belum pernah terdengar forum diskusi perguruan tinggi di Jatinangor dengan pemda setempat, membahas perencanaan maupun pembuatan regulasi masalah tata ruang.

“Padahal, komunikasi itu sangat penting, Lebih bagus lagi dengan provinsi. Sebab, kawasan pendidikan Jatinangor tak hanya terkait dengan Sumedang saja, melainkan kabupaten dan kota lainnya di Bandung Raya,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Panitia Acara Ali Rifki yang juga Ketua Bidang Infokom Badko HMI Jabar mengatakan, dari hasil penelitian di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Barat, ternyata kawasan pendidikan di Jatinangor menjadi prototype kawasan pendidikan di Jawa Barat. 

Hal itu, dengan keberadaan beberapa perguruan tinggi negeri dan swasta, seperti Unpad, ITB, IPDN dan Ikopin. “Hanya sayangnya, kawasan pendidikan di Jatinangor masih terbentur dengan kepentingan tata ruang untuk industri, pemukiman penduduk serta pembangunan apartemen belasan lantai,” ujarnya. 

Meski Pemkab Sumedang sudah menetapkan wilayah selatan Jatinangor sebagai kawasan pendidikan, lanjut dia, tetap saja masih ada yang membangun apartemen di dataran tinggi, bahkan berdekatan dengan pemukiman penduduk. Dampak lingkungannya, bisa menimbulkan longsor dan banjir akibat berkurangnya daerah resapan air. 

“Padahal, sebuah kawasan pendidikan, tak cukup hanya kegiatan belajar dan mengajar di kampus saja, melainkan harus didukung lingkungan sosial yang kondusif serta suasana alam yang nyaman. Jadi, tata ruang di Jatinangor ini masih belum teratur,” kata Ali.

Ia menilai, Jatinangor sebagai prototype kawasan pendidikan di Jabar, perlu didukung oleh penetapan tata ruang kawasan pendidikan yang jelas. Untuk mewujudkannya, harus segera dibuat peraturan daerah tentang tata ruang pendidikan di Jatinangor. Perda yang ada sekarang, hanya perda tata ruang secara umum yang meliputi kawasan industri, pemukiman penduduk dan pendidikan.

“Nah, melalui seminar ini kami mencoba membuka wawasan dan mencari peluang dibuatnya zonasi pendidikan. Output-nya, diharapkan pemerintah membuat perda tentang tata ruang pendidikan. Meski kondisi tata ruang di Jatinangor kadung tidak teratur dan tidak tertib, tidak ada kata terlambat untuk membenahinya,” ujar Ali. (salam plano)
Read More »