Rencana Pembagunan Jangka Panjang Waduk Jatigede yang melar kurang lebih 30 tahun dari awal diwacanakan pada Zaman Pemerintahan Presiden Soekarno, kemudian direncanakan dan dibebaskan lahan pada waktu pemerintahan Presiden Soeharto dan dibangun pada masa pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yoedoyono, sampai akhirnya akan digenangi pada pemerintahan satu tahun Presiden Jokowi karena telah usai. Meskipun penggenangan tidak akan sekaligus dan melalui tiga tahap jatigede masih menyimpan segudang problem yaitu pembagian uang karohiman yang belum semuanya selesai dan penyelamatan situs yang akan tenggelam di Jatigede.
Dalam waktu tidak lama lagi, makam keramat pendiri Kerajaan Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu bakal tergenang air Waduk Jetigede.
Suasana haru, sedih, dan mencekam menyelimuti hati seratus peserta ruwatan yang memenuhi areal kabuyutan seluas 10 meter x 10 meter pada sepenggal hutan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk. Semilir angin yang pelan-pelan mengurai rumpun bambu dan pohon besar berusia ratusan tahun membangkitkan suasana magis pada ziarah seuweu siwi putu Eyang Prabu, Rabu (29/7/2015) siang itu.
Asap dupa yang mengepul sendu membuat bulu kuduk merinding saat Ambu Pristi memimpin doa. Di atas kabuyutan, burung elang terbang berkeliling, berteriak gelisah seolah tahu yang akan terjadi. Kekhidmatan prosesi nyaris sempurna saat alunan musik tradisional karinding mengiringi kidung Sunda pada rajah bubuka (pembuka) hingga rajah pamunah.
Ruwatan itu merupakan aksi budaya sejumlah komunitas adat kesundaan dalam rangka menyelamatkan Kabuyutan Jatigede. Aksi itu terus dilakukan menjelang digenanginya Waduk Jatigede. Dalam budaya Sunda, siapa saja yang tak bisa menjaga kabuyutan derajatnya tidak lebih baik daripada kulit musang di tempat sampah (jarian).
Menurut tokoh wanita Sumedang itu, Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Pada masa jayanya sekitar abad ke-7 Masehi, wilayah kekuasaan Sumedang Larang hampir sama dengan Jabar sekarang. Kabuyutan ini juga dianggap keramat karena merupakan titik singgung paling utama kesatuan gunung-gunung di Pulau Jawa.
"Menurut keyakinan masyarakat Tatar Sunda, situs ini tak tergantikan karena merupakan salah satu koridor menuju tatanan kenegaraan yang adil, makmur, dan sejahtera," papar Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) asli Sumedang Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita dari ITB, M.Kim.
Saat ini keyakinan warga Tatar Sunda terhadap situs yang akan tenggelam itu terus berkembang di media sosial dan makin membangkitkan penolakan terhadap penggenangan. Oleh masyarakat Tatar Sunda hilangnya situs keramat ini merupakan tanda-tanda pemicu kehancuran bangsa.
Oleh karena itu, sejumlah komunitas adat kesundaan, aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat Jabar terus menyuarakan penolakan penggenangan Jatigede, baik dengan penjelasan teknis maupun budaya.
"Sepuluh tahun kami menolak Jatigede, tetapi penjelasan kami tak didengar pemerintah, terakhir, sesepuh Jabar Solihin GP pada 27 Juli menyurati Presiden agar penggenangan Jatigede dibatalkan," ujar Taufan Suranto dari DPKLTS
Tangisan Terakhir
Tangisan wanita tokoh Sumedang itu barangkali adalah jeritan hati terakhir rakyat Jatigede. Sebanyak 11.469 keluarga warga di 28 desa bakal tergenang sehingga harus meninggalkan tanah leluhur yang secara turun-temurun menghidupi mereka. Kawasan itu adalah lahan pertanian yang subur dan penyumbang beras untuk Sumedang dan Kota Bandung.
"Sawah di sini rata-rata menghasilkan 10 kilogram (kg) gabah per bata (sekitar 14 meter persegi) atau 7 ton per hektar," ujar E Supendi, tokoh Desa Cipaku. Setelah berpuluh tahun diombang-ambingkan oleh pembangunan Jatigede, akhirnya mereka pasrah kampung halamannya direndam waduk yang bakal mengairi sekitar 90.000 hektar sawah di pantai utara (pantura) Jabar itu.
Kepasrahan mereka terlihat saat hari-hari ini berkerumun di kantor kecamatan dan desa untuk memverifikasi kepemilikan lahan bagi kepentingan ganti rugi. Warga yang dipindahkan dari areal waduk terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama 11.469 keluarga, yang mendapat penggantian berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Kelompok ini memperoleh biaya sosial Rp 108.191.200 per keluarga.
Kelompok kedua 6.955 keluarga, penanganannya berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005. Mereka mendapat anggaran sosial Rp 29.360.152 per keluarga. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2015 untuk mengatur pembayaran ganti rugi bagi warga yang rumah dan tanahnya terkena pembangunan waduk itu.
"Kami tidak memiliki pilihan lain," tutur Ali Rachmat, warga Kecamatan Jatigede. Awalnya, ia menolak keputusan pemerintah yang menetapkannya mendapat uang kerohiman Rp 29 juta karena tidak mungkin cukup untuk membangun rumah di tempat lain. Akhirnya, ia bersedia menandatangani pemberkasan oleh Satuan Kerja Jatigede untuk mengambil uang pengganti.
Dalam waktu tidak lama lagi, makam keramat pendiri Kerajaan Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang di Desa Cipaku, Kecamatan Darmaraja, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, itu bakal tergenang air Waduk Jetigede.
Suasana haru, sedih, dan mencekam menyelimuti hati seratus peserta ruwatan yang memenuhi areal kabuyutan seluas 10 meter x 10 meter pada sepenggal hutan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk. Semilir angin yang pelan-pelan mengurai rumpun bambu dan pohon besar berusia ratusan tahun membangkitkan suasana magis pada ziarah seuweu siwi putu Eyang Prabu, Rabu (29/7/2015) siang itu.
Asap dupa yang mengepul sendu membuat bulu kuduk merinding saat Ambu Pristi memimpin doa. Di atas kabuyutan, burung elang terbang berkeliling, berteriak gelisah seolah tahu yang akan terjadi. Kekhidmatan prosesi nyaris sempurna saat alunan musik tradisional karinding mengiringi kidung Sunda pada rajah bubuka (pembuka) hingga rajah pamunah.
Ruwatan itu merupakan aksi budaya sejumlah komunitas adat kesundaan dalam rangka menyelamatkan Kabuyutan Jatigede. Aksi itu terus dilakukan menjelang digenanginya Waduk Jatigede. Dalam budaya Sunda, siapa saja yang tak bisa menjaga kabuyutan derajatnya tidak lebih baik daripada kulit musang di tempat sampah (jarian).
Menurut tokoh wanita Sumedang itu, Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Pada masa jayanya sekitar abad ke-7 Masehi, wilayah kekuasaan Sumedang Larang hampir sama dengan Jabar sekarang. Kabuyutan ini juga dianggap keramat karena merupakan titik singgung paling utama kesatuan gunung-gunung di Pulau Jawa.
"Menurut keyakinan masyarakat Tatar Sunda, situs ini tak tergantikan karena merupakan salah satu koridor menuju tatanan kenegaraan yang adil, makmur, dan sejahtera," papar Ketua Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS) asli Sumedang Dr. Ir. Mubiar Purwasasmita dari ITB, M.Kim.
Saat ini keyakinan warga Tatar Sunda terhadap situs yang akan tenggelam itu terus berkembang di media sosial dan makin membangkitkan penolakan terhadap penggenangan. Oleh masyarakat Tatar Sunda hilangnya situs keramat ini merupakan tanda-tanda pemicu kehancuran bangsa.
Oleh karena itu, sejumlah komunitas adat kesundaan, aktivis lingkungan, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat Jabar terus menyuarakan penolakan penggenangan Jatigede, baik dengan penjelasan teknis maupun budaya.
"Sepuluh tahun kami menolak Jatigede, tetapi penjelasan kami tak didengar pemerintah, terakhir, sesepuh Jabar Solihin GP pada 27 Juli menyurati Presiden agar penggenangan Jatigede dibatalkan," ujar Taufan Suranto dari DPKLTS
Tangisan Terakhir
Tangisan wanita tokoh Sumedang itu barangkali adalah jeritan hati terakhir rakyat Jatigede. Sebanyak 11.469 keluarga warga di 28 desa bakal tergenang sehingga harus meninggalkan tanah leluhur yang secara turun-temurun menghidupi mereka. Kawasan itu adalah lahan pertanian yang subur dan penyumbang beras untuk Sumedang dan Kota Bandung.
"Sawah di sini rata-rata menghasilkan 10 kilogram (kg) gabah per bata (sekitar 14 meter persegi) atau 7 ton per hektar," ujar E Supendi, tokoh Desa Cipaku. Setelah berpuluh tahun diombang-ambingkan oleh pembangunan Jatigede, akhirnya mereka pasrah kampung halamannya direndam waduk yang bakal mengairi sekitar 90.000 hektar sawah di pantai utara (pantura) Jabar itu.
Kepasrahan mereka terlihat saat hari-hari ini berkerumun di kantor kecamatan dan desa untuk memverifikasi kepemilikan lahan bagi kepentingan ganti rugi. Warga yang dipindahkan dari areal waduk terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama 11.469 keluarga, yang mendapat penggantian berdasar Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1975. Kelompok ini memperoleh biaya sosial Rp 108.191.200 per keluarga.
Kelompok kedua 6.955 keluarga, penanganannya berdasar Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 55 Tahun 1993 dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005. Mereka mendapat anggaran sosial Rp 29.360.152 per keluarga. Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 1 Tahun 2015 untuk mengatur pembayaran ganti rugi bagi warga yang rumah dan tanahnya terkena pembangunan waduk itu.
"Kami tidak memiliki pilihan lain," tutur Ali Rachmat, warga Kecamatan Jatigede. Awalnya, ia menolak keputusan pemerintah yang menetapkannya mendapat uang kerohiman Rp 29 juta karena tidak mungkin cukup untuk membangun rumah di tempat lain. Akhirnya, ia bersedia menandatangani pemberkasan oleh Satuan Kerja Jatigede untuk mengambil uang pengganti.
Usulan Nama Menjadi Waduk Jati Gede menjadi Waduk Tembong Agung
Usulan Nama menjadi Tembong Agung dibahas dalam "Diskusi upaya penyelamatan Situs Jatigede dengan bangunan terapung" yang diadakan di Gedung Negara Kabupaten Sumedang dengan desain teknis bangunan terapung atas pemakarsa oleh salah satu ahli teknik sipil Hidrarulik ITB Ir. Surachman M.Eng, M.Tech dari wado Sumedang, namun upaya ini tidak membuahkan titik temu karena baru bersifat, agar tidak ada lagi masalah-masalah dikemudian hari memginggat banyak halangan dan rintangan dari sejak awal pembebasan/penggantian lahan, penempatan warga OTD Jatigede, rumah liar, patahan sesar baribis, hingga terakhir masalah lokasi pemindahan situs sumedang larang Tembong Agung.
Karena Lokasi Cikal Bakal Sumedang Larang berada di Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Maka akan diusulkan ke Presiden JOKOWI dengan Nama Waduk "TEMBONG AGUNG". dan Tembong Agung adalah nama kerajaan awal sebelum kemudian jadi Sumedang Larang, yang memang lokasinya akan ditenggelamkan (salam plano)
Karena Lokasi Cikal Bakal Sumedang Larang berada di Kabuyutan Cipaku dipercaya sebagai peninggalan Eyang Prabu Aji Putih, Raja Tembong Agung, cikal bakal Kerajaan Sunda Sumedang Larang. Maka akan diusulkan ke Presiden JOKOWI dengan Nama Waduk "TEMBONG AGUNG". dan Tembong Agung adalah nama kerajaan awal sebelum kemudian jadi Sumedang Larang, yang memang lokasinya akan ditenggelamkan (salam plano)
Artikel Terkait :
0 komentar:
Posting Komentar