12/12/12

Tata Ruang Bagi Orang Awam

Apakah “tata ruang”  terutama bagi kita yang tidak berprofesi di bidang arsitektur dan perkotaan?  Mungkin tata ruang terdengar asing bagi seorang ibu rumah tangga, dokter gigi, pengacara atau pedagang kaki lima. Tata ruang seolah bukan bagian dari kehidupan, dan hanya urusan segelintir spesialis. Apakah benar demikian?

Tanpa sadar maupun tidak sadar, hampir seluruh aspek hidup perkotaan diatur oleh tata ruang. Ketika berjalan di trotoar Jalan Raya, pernahkah anda bertanya-tanya, mengapa ukurannya 1 meter, dan bukannya 3 meter supaya anda lebih nyaman berpindah kafe satu ke kafe lain? Atau ketika misalnya tiba-tiba ada pom bensin baru muncul mendadak, apakah anda sadar kalau sebetulnya pom bensin itu menempati area yang sebetulnya untuk ruang hijau? Atau ketika tiba-tiba di bulan Februari tahun depan, banjir Melanda Kota Sumedang pernahkah anda bertanya, mengapa demikian? Jika masuk kedalam lingkungan rumah, pernahkan anda bertanya-tanya mengapa tiba-tiba disamping rumah bisa ada mini market menempel dengan batas jalan? Bolehkah itu semua dilakukan.

Dan saat tersadar, ternyata semuanya itu berhubungan dengan Tata Ruang. Dan akhirnya pun Tata Ruang tidak menjadi eksklusif milik arsitek, pemerintah, maupun calon investor superblok terbaru, tetapi tata ruang juga mempengaruhi kehidupan seluruh warga kota. Tata ruang pun tidak berhenti hanya diperlukan saat ingin membangun rumah, tapi lebih dari itu, seperti: mengatur ketinggian bangunan, kepadatan, rasio ruang hijau, hingga peruntukan bangunan dan tipe trotoar.

Tata ruang sedikit banyak mengantarkan  ke arah tertentu. Jika ingin memadatkan demi mendapatkan ruang terbuka hijau lebih banyak, maka simbol-simbol dan angka-angka dalam tata ruang dapat diatur sedemikian rupa, demi tercapainya tujuan itu. Atau jika ingin seluruh Jakarta menjadi ala Menteng dan Kebayoran, maka angka-angka dan aturan-aturan itu bisa dirubah. Walaupun memang dalam prakteknya tidak segampang membalikkan telapak tangan.

Lalu apa saja yang setidaknya perlu diketahui?

Sebenarnya sangat mudah dan praktis serta dekat dengan keseharian. Sebuah rumah selayaknya memiliki ruang terbuka, baik untuk ketersediaan air tanah dan sinar matahari cukup–dengan begitu rumah akan menjadi sehat. Dan itu ternyata diatur oleh apa yang disebut Koefisien Dasar Bangunan atau KDB, yang pengetian resminya adalah: angka persentase perbandingan luas lantai dasar dengan luas lahan. Jadi jika memiliki lahan sebesar 1000 m² dengan KDB sebesar 60%, maka luas lantai dasar yang boleh dibangun adalah 600m², dan sisa 400 m² menjadi ruang terbuka. Dan dalam prakteknya sebaiknya ruang terbuka itu tidak didominasi oleh perkerasan, supaya cita-cita luhur diatas tercapai. Tak hanya disitu, KDB pun dibantu oleh apa yang disebut Garis Sempadan Bangunan (GSB), yang intinya garis batas yang ditarik dari batas terluar kapling, yang memisahkan antara bagian yang boleh dibangun dan tidak dibangun. Jika memiliki GSB sebesar 3 meter, maka daerah yang tak terbangun pun adalah 3 meter dari batas terluar kapling.

Yang tak kalah penting adalah ketinggian bangunan, yang turut diatur dalam Tata Ruang. Jadi jika tetangga tiba-tiba merenovasi rumah menjadi 4 lantai, sementara menurut Tata Ruang hanya diperbolehkan 2 lantai, maka tetangga tersebut telah melanggar, dan jika anda peduli maka anda berhak melapor kepada Dinas Penataan dan Pengawasan Bangunan yang berada di Dinas Tata Ruang PUK Kabupaten. Sinar matahari dan aliran udara merupakan suatu yang berharga, karenanya ketinggian bangunan menjadi faktor penting.

Selain itu, keserasian dan keselarasan bangunan dalam mendapatkan akses terhadap sinar matahari, diatur pula oleh apa yang disebut Koefisien Lantai Bangunan (KLB): atau adalah total keseluruhan luas lantai yang boleh dibangun. KLB juga berfungsi mengontrol kepadatan, dan iapun sensitif terhadap sumber daya, misalnya air. Jadi misalnya di daerah yang merupakan daerah resapan air, maka ketentuan KLB dan KDB akan lebih rendah dibandingkan daerah Kota Sumedang yang menjadi pusat kegiatan.

Apakah anda yang tinggal dalam wilayah administratif Kota Sumedang, maka dapat pula melihat KDB, KLB, Ketinggian Bangunan, Peruntukan, hingga Garis Sempadan di hampir seluruh daerah Kota Sumedang. Kumpulan informasi berupa peta itu disebut sebagai Lembaran Rencana Kota, disertai penjelasan, dan peta itu penuh dengan istilah dan singkatan ajaib, seperti: Wsd, Kkt, Wtm, serta angka-angka. Dan mungkin ini bisa menjadi masukan bagi Dinas Tata Ruang untuk lebih memasyarakatkan Situs Mengenai Rencana Tata Ruang Kota Sumedang secara detail melalui "situs internet".


Artikel Terkait :

0 komentar:

Posting Komentar